Rabu, 01 April 2009

GANGGUAN EMOSI PADA PENERBANG SEBAGAI FAKTOR PENYEBAB KECELAKAAN TERBANG

Dari laporan yang ada dan beberapa kejadian kecelakaaan pesawat udara hampir 60 % oleh karena faktor manusia. Selama kurun waktu 5 tahun terakhir angka kecelakaan pesawat terbang relatif cukup tinggi, berdasarkan data dari Dinas Keselamatan Terbang dan Kerja TNI AU tahun 2006 telah terjadi 26 accident dan 121 incident dengan kondisi 10 pesawat total lost dan 16 pesawat rusak berat dimana dari kejadian tersebut faktor materiil masih sangat dominan dengan 78,9 %, faktor manusia 13,2 % sedangkan faktor media adalah 6,8 %. Salah satunya adalah faktor emosi penerbang dalam mengambil keputusan saat melaksanakan tugas. Kemampuan seorang penerbang dalam membuat dan mengambil keputusan merupakan faktor penting dalam keselamatan terbang, apalagi jika penerbang dihadapkan pada kondisi emergency.
Kecelakaan penerbangan dan kerja telah menimbulkan kerugian yang tidak sedikit dibidang peralatan materiil maupun personel serta menelan biaya yang besar yang sukar tergantikan dalam waktu relatif singkat. Kecelakaan akibat kesalahan personel merupakan bidang yang harus mendapat perhatian utama dalam usaha pencegahan kecelakaan. Pada dasarnya terdapat dua penyebab kecelakaan yaitu tingkah laku personel yang membahayakan Unsafe Action dan Unsafe Condition. Gangguan emosi penerbang saat mengambil keputusan merupakan Unsafe Action yang dapat menyebabkan kecelakaan terbang.
Setiap orang akan selalu diwarnai oleh emosi dan stress dalam kehidupannya. Emosi dapat memberikan gejala seperti jantung berdebar-debar, keluar keringat dingin, perasaan gugup. Reaksi tersebut dapat sebagai akibat emosi dan rasa takut atau rasa marah yang ekstrim. Meskipun demikian emosi juga akan memunculkan luapan kegembiraan apabila muncul karena pengalaman emosi yang menyenangkan.

Segala bentuk gejala emosi perlu mendapatkan perhatian. Apalagi emosi itu timbul pada seorang penerbang karena dapat berakibat fatal bagi penerbang sebagai operator pesawat terutama saat harus mengambilan keputusan. Situasi yang dihadapi seorang penerbang sering melibatkan situasi yang membebani penerbang itu sendiri,misalnya saat take off , landing maupun saat emergency menghadapi cuaca yang buruk maupun kondisi emergency lainnya. Situasi stress yang melibatkan emosi sering dihubungkan dengan stres psikologis yang berasal dari dalam diri penerbang. Hal ini akan berdampak pada penampilan dan performance seseorang termasuk penerbang.
Sumber stres yang berdampak pada kondisi emosi misalnya seseorang yang harus memilih alternatif tindakan yang saling bertentangan, atau berkaitan dengan kekhawatiran pada hal-hal yang tidak diketahuinya bila ia salah mengambil keputusan. Hal ini bisa terjadi pada seorang penerbang yang dihadapkan pada kondisi cuaca buruk atau adanya trouble engine dan harus memutuskan suatu tindakan/keputusan.

Emosi stress yang menyebabkan kewaspadaan yang tinggi umumnya di tandai oleh kesiagaan yang tinggi (over confidence). Hal ini dapat mengakibatkan perhatian yang menyebar (diffuse attention) sehingga tidak terfokus pada satu hal. Kondisi ini merupakan sumber inefisiensi kognitif yang dapat berakibat fatal pada kegagalan dalam pengambilan keputusan yang muncul sebagai bentuk judgment yang buruk dan keputusan impulsif yang maladaptif.

Timbulnya perhatian yang menyebar dan inefisiensi kognitif ini akan mengakibatkan gagalnya melakukan tindakan yang berurutan dalam menghadapi ancaman serta gagal mengingat apa yang harus dilakukan saat situasi ancaman yang dihadapi sama terjadi pada waktu lalu. Apabila hal ini dikaitkan dengan seorang penerbang yang mengalami diffuse attention dan inefisiensi kognitif saat terjadinya emosi stress menghadapi emergency maka akan mengakibatkan seorang penerbang gagal menjalankan tindakan emergency procedur yang harus dilakukan. Konsekuensi dari kondisi-kondisi diatas sangat berpengaruh pada perolehan data informasi penerbang sebagi dasar pertimbangan (judgment) atau penilaian situasi sebelum keputusan diambil untuk melakukan tindakan yang tepat.

Apabila emosi stress mulai menyempitkan perhatian dan fleksibilitas berfikir, biasanya penerbang akan mengambil beberapa alternatif tindakan seperti terpaku pada satu set prosedur yang biasanya termudah, melakukan tindakan yang didasari secara subyektif tanpa didasarkan atas pemikiran yang rasional dan logis, melakukan tindakan alternatif yang lebih sulit karena sesuai pengalamannya jika tidak dilakukan akan berakibat fatal atau bahkan penerbang membuat keputusan tindakan yang prematur.

Kadislambangja Angkatan Udara dalam paparannya tentang beberapa kecelakaan pesawat terbang yang ada, terutama yang terjadi di Indonesia selama tiga tahun dari tahun 2003 sampai 2006 menyebutkan bahwa selama tiga tahun telah terjadi kecelakaan 19 kali dan lebih dari 50 % disebabkan oleh karena faktor manusia (human factor) yaitu sebanyak 10 kali.

Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi menegaskan, kecelakaan moda transportasi di Indonesia umumnya diakibatkan faktor manusia (human factor). Berdasarkan penelitian terhadap sejumlah kasus kecelakaan kereta api,pesawat udara,dan kapal laut di Indonesia,umumnya akibat kesalahan manusia. Jika diprosentasikan, angkanya mencapai 60%. Salah satu penyebab kecelakaan bisa terjadi akibat moda transportasi sudah tidak laik lagi untuk digunakan. Menurut Tatang, peran pemeriksa sangat penting untuk memastikan alat transportasi itu sudah laik atau tidak.

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menemukan penyimpangan pada salah satu alat navigasi pesawat Boeing 737-400 milik Adam Air yang jatuh di perairan Majene,Sulawesi Barat,1 Januari 2007. Penyimpangan tersebut menjadi salah satu bagian dari kompilasi penyebab jatuhnya pesawat berpenumpang 102 orang itu. Ketua KNKT Tatang Kurniadi menjelaskan, hasil analisis salah satu kotak hitam yang merekam percakapan di kokpit (cockpit voice recorder/CVR) menunjukkan kedua pilot terlibat problem navigasi,yaitu pada inertial reference system (IRS). Alat navigasi yang menyimpang itu berfungsi sebagai penunjuk arah, kecepatan, dan perilaku pesawat (attitude).Perhatian keduanya (pilot dan kopilot) terfokus pada permasalahan IRS, ujar Tatang saat membacakan laporan akhir hasil investigasi KNKT atas musibah Adam Air di Jakarta kemarin. Penyimpangan diketahui saat pilot dan kopilot menyadari kedua IRS menunjukkan perbedaan posisi pesawat. Tidak disebutkan posisi pesawat menurut masing-masing IRS,hanya dari tampilan keduanya ada perbedaan sebesar 30 mil laut (nautical mile). Ukuran 1 mil laut setara dengan 1,8 kilometer. Konsentrasi kedua pilot akhirnya hanya terfokus pada upaya mengoreksi penyimpangan IRS tersebut, setidaknya selama 13 menit terakhir penerbangan. Dalam upaya koreksi ini, pilot memutuskan untuk mengalihkan mode navigasi ke posisi mode attitude pada IRS nomor dua atau sebelah kanan.Ternyata,akibatnya autopilot mati (pesawat menjadi tidak bisa digerakkan secara otomatis), ungkap Tatang. Sayang, selama beberapa saat kedua pilot tidak menyadari autopilot berhenti berfungsi lantaran sibuk memerhatikan IRS. Pesawat praktis tidak ada yang mengendalikan dan mulai bergerak miring satu derajat ke arah kanan. Pada saat ini pun kedua pilot tidak menyadari pesawat mulai miring, sehingga tidak ada upaya meluruskan. Keduanya baru sadar saat terdengar suara peringatan berbunyi bank angle ketika kemiringan pesawat sudah bertambah menjadi 35 derajat ke kanan. Pilot kemudian berusaha membanting kemudi ke arah kiri untuk meluruskan pesawat, namun tak lama kemudi diputar balik ke kanan karena pilot tidak merasakan dengan benar kondisi pesawat. Pilot merasa terlalu banyak membanting ke kiri sehingga kemudi diputar lagi ke kanan. Padahal, kenyataannya mereka hanya sedikit membanting ke kiri,jelas human factor investigator dari Lembaga Kesehatan Penerbangan & Antariksa TNI AU Herman Mulyadi. Dia menilai sangat wajar bila pilot tidak merasakan kondisi yang sesungguhnya pada pesawat karena mereka tidak melihat horizon bumi. Ini normal saat manusia berada di udara, istilahnya disorientasi ruang,ujar Herman. Kemiringan pesawat akhirnya bertambah menjadi 100 derajat ke kanan karena kemudi kembali dibanting ke arah kanan. Saat itu, kondisi pesawat hampir berbalik dengan posisi sayap kiri menghadap ke atas, kemudian menyerong ke arah kanan. Pilot berusaha menormalkan posisi pesawat, namun tidak berhasil karena terjadi kerusakan pada struktur armada dan akhirnya pesawat jatuh pada kedalaman 2.000 meter di perairan Majene. Kerusakan pada struktur terjadi saat posisi pesawat hendak dinormalkan, ujar investigator senior KNKT yang terlibat dalam analisis kotak hitam Adam Air, Prof Mardjono Siswosuwarno. Menurut Mardjono, seharusnya kedua pilot tidak sibuk memperbaiki IRS karena itu bukan pekerjaan yang wajar dilakukan saat mengudara. Seharusnya biarkan saja IRS menyimpang, tutur Mardjono. Sebagai pengganti IRS, pilot harus mengandalkan menara pemandu lalu lintas udara (air traffic controller/ ATC) sebagain navigator. Tetapi mungkin mereka takut nyasar sehingga sibuk membetulkan IRS,imbuhnya. Saat itu juga sempat terdengar suara pilot Revri Agustina Widodo kepada kopilotnya, Yoga, sesaat sebelum pesawat jatuh. Jangan dibelokin, jangan dibelokin, ungkap Mardjono menirukan suara pilot. Ditanya lebih lanjut mengenai percapakan tersebut, Mardjono tidak bersedia mengungkap. Itu ada etikanya, tidak boleh,katanya. Menurut laporan akhir KNKT,kecelakaan ini terjadi sebagai kombinasi beberapa faktor, termasuk kegagalan pilot dalam memonitor instrumen penerbangan khususnya dalam dua menit terakhir penerbangan. Fokus konsentrasi pada malafungsi IRS mengalihkan perhatian kedua pilot dari instrumen penerbangan. Hal ini membuka peluang pilot tidak mendeteksi dan menahan posisi pesawat pada kondisi normal sesegera mungkin untuk mencegah kehilangan kendali. Dari laporan akhir tersebut diketahui, laporan pilot dan laporan perawatan pesawat menunjukkan antara bulan Oktober hingga Desember 2006 terjadi 154 kali adanya defect yang langsung atau tidak langsung terkait dengan IRS,terutama sistem yang kiri. Sampai terjadinya kecelakaan, tidak ada bukti jaminan efektivitas dan kelaikan komponen bagi pesawat pesawat Adam Air. Ketua KNKT mengakui adanya kegagalan kedua pilot Adam Air dalam menangani kondisi yang tidak biasa tersebut. Dalam rekomendasi yang telah disampaikan saat investigasi masih berjalan, KNKT meminta Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan dan Adam Air meningkatkan perawatan IRS dan pelatihan IRS kepada awak pesawat. Direktur Jenderal Perhubungan Udara Budhi Muliawan Suyitno mengatakan, rekomendasi tersebut telah direspons melalui penerbitan safety circular untuk semua operator penerbangan. Salah satunya terkait peningkatan pelatihan pilot lewat simulator dalam berbagai attitude pesawat, terangnya.

Dari beberapa hal diatas faktor manusia (human factor ) berperan dalam terjadinya kecelakaan tersebut. Adanya gangguan di IRS membuat perhatian pilot tertumpu pada hal tersebut. Diffuse attention , inefisiensi kognitif disertai adanya disorientasi pilot menyebabkan pilot gagal dalam memperoleh informasi yang dipercaya untuk melakukan urutan tindakan yang efektif dalam menghadapai ancaman. Pilot juga gagal mengingat apa yang harus dilakukan ketika menghadapi situasi ancaman. Dalam hal, ini pilot juga tidak dapat membedakan perhatian terhadap berbagai jenis ancaman sehingga banyak menghabiskan waktu bagaimana melakukan tindakan yang dapat menyelamatkan diri.

Dari uraian diatas tentang Gangguan Emosi pada Penerbang sebagai Faktor Penyebab Kecelakaan Terbang, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam mengamati gangguan emosi ternyata ada sejumlah faktor psikologis yang perlu diperhatikan yang dapat memberikan kontribusi terhadap kegagalan pengambilan keputusan.Gangguan emosi dalam bentuk stress emosi dapat menghambat kemampuan kognitif dalam bentuk meningkatnya kewaspadaan yang berlebihan yang dapat memberikan konsekuensi pada hambatan perhatian dan menyempitnya pengamatan seseorang. Kondisi emosi stress juga menghambat kemampuan penerbang melakukan penilaian situasi sebagai dasar pertimbangannya untuk bertindak secara efektif.

(dari berbagai sumber)